Horizontal Scroll Menu
Home » Serial TV » Berita » Sutradara Bad Genius the Series Bahas Konsep di Balik Serial Drama

Sutradara Bad Genius the Series Bahas Konsep di Balik Serial Drama


Check Out Our English Version! Go to English Version

Terakhir diperbarui pada 17/08/2020 oleh Timotius Ari

Pada 2017, semua orang di Thailand tidak bisa berhenti membahas tentang Chalard Games Goeng (Bad Genius), film arahan Nattawut Poonpiriya. Film itu mengubah sesuatu yang biasa seperti ujian menjadi sebuah rangkaian aksi kejahatan canggih yang memanfaatkan zona waktu yang berbeda supaya para siswa bisa curang saat ujian.

Menjelajahi ketegangan dari skema mencontek juga ketidaksetaraan sosial, film itu meraih kesuksesan komersial dan ulasan positif dari para kritikus film, memenangkan beberapa penghargaan di dunia serta dijuluki sebagai film Thai dengan penghasilan kotor tertinggi tahun itu.

Tiga tahun kemudian, GDH Studio menayangkan serial drama adaptasi dari film itu dengan kru dan para pemeran baru. Drama tersebut sudah tayang sejak 3 Agustus 2020 di WeTV dan iflix. 

Lynn dan Bank

Drama ini tidak hanya membahas kecurangan saat ujian, tapi juga sisi gelap dari sistem pendidikan di Thailand seperti uang sogokan supaya anak bisa masuk sekolah bergengsi dan bisnis joki dalam ujian. Semua kisah yang disajikan dalam film dan drama berdasarkan dari kejadian nyata.

Disutradarai oleh Pat Boonnitipat (Project S: The Series-SOS), Bad Genius akan membawa deretan pemain baru. Lynn, seorang siswi genius yang memimpin operasi mencontek, sekarang diperankan oleh Plearnpichaya “June” Komalarajun. Dia sebelumnya adalah anggota dari grup idol BNK48. Sedangkan pemain lainnya adalah Jinett “Jaonaay” Wattanasin yang memerankan Bank, pesaing Lynn yang pintar. Paris “Ice” Intarakomalyasut sebagai anak kaya Pat yang menyewa Lynn untuk memberikan contekan jawaban ujian; dan Sawanya “Nana” Paisarnpayak sebagai Grace, pacar Pat.

Grace

Saat mengadaptasi kisah film populer ke layar kaca, sutradara Pat berkata ada tantangan yang sulit untuk menghasilkan sesuatu yang berbeda sembari tetap menjaga esensi dari film original. Hal ini adalah sesuatu yang baru untuknya dan produser Jira Maligool dan Vanridee Pongsittisak. GDH jarang membuat sekuel atau remake dari proyek mereka sendiri. Setelah melalui proses trial and error dalam pengembangan cerita, dia memutuskan memakai konsep sama tapi berbeda untuk serial drama 12 episode itu. Drama itu fokus pada aksi dan ketegangan juga hubungan para karakter di dalamnya.

“Bad Genius adalah soal ketegangan dan aksi. Saya ingin para penonton merasakan setiap episode. Ketegangan bisa ditemukan dalam berbagai hal mulai dari hubungan pribadi hingga mencontek dalam ujian dan bahkan kritikan sosial,” kata Pat dilansir dari Bangkok Post.

Pat

Moralitas, kata Pat, adalah hal yang menarik dirinya memakai konsep Bad Genius dan juga satu poin yang ingin dia jelajahi dalam drama ini.

“Saya tertarik dengan apa yang baik dan salah dan sejauh apa orang bisa melangkah sembari berkata mereka melakukan hal yang benar. Orang curang untuk sebuah alasan. Saat mereka curang, mereka tidak berkata jika mereka orang jahat karena melakukan itu. Mereka mencoba membenarkan perilaku mereka dan terus mencari alasan untuk melakukannya. Saya penasaran seberapa jauh hal ini bisa dilakukan dan di mana orang-orang itu akan berada karena perbuatan mereka tanpa mereka sadari,” terang pria itu.

Secara pribadi, Pat juga ingin bereksperimen dengan sebuah proyek yang konsepnya dia tidak bisa buat sendirian.

“Saya terbiasa bekerja dengan cerita yang berasal dari sesuatu yang sudah saya minati terlebih dulu. Dengan drama ini, idenya diberikan kepada saya berdasarkan pada apa yang orang lain sudah lakukan. Awalnya, saya ragu untuk mengambil proyek ini. Tapi, saat saya berpikir tentang langkah ke depan sebagai seorang pembuat film, saya menyadari saya tidak ingin menjadi sutradara yang membatasi diri sendiri pada hal-hal yang menarik minatnya. Maksud saya, hal itu tidaklah salah, tapi saya juga ingin melihat apakah saya mampu melakukan sesuatu yang berbeda dan bagaimana hasilnya jika saya mengambil cerita dari orang lain. Saya ingin mengembangkan kemampuan saya sebagai seorang pembuat film,” lanjut Pat.

Selama dua tahun menggarap proyek ini, Pat berkata dia belajar lebih banyak tentang pembuatan film dan bekerja dengan para pemeran. Dalam Bad Genius, dia bekerja bersama para pemain muda yang masing-masing adalah idola remaja. Dia berkata sekalipun mereka masih muda, mereka mampu membuat dirinya bertumbuh.

Plearnpichaya sudah membintangi serial drama One Year. Sedangkan Paris dan Sawanya tampil dalam drama In Family We Trust, Jinjett tidak memiliki latar belakang akting dan awalnya perlu banyak belajar supaya mampu memenuhi tuntutan perannya. Pat berkata pada akhirnya mereka semua mengejutkan dirinya dengan bakat mereka dan dia senang bisa menolong mereka bersinar di layar kaca.

Tapi, Bad Genius bukanlah drama yang hanya dibintangi  para remaja. Sosok yang mendukung keempat pemeran utama adalah para veteran seperti Willie McIntosh, Saksit Tangthong, Apasiri Nitibhon dan lebih banyak lagi. Mereka memerankan orang tua dan kepala sekolah. Pat merasa penting untuk memiliki suara dari generasi berbeda dalam cerita drama ini.

“Dalam film, waktunya lebih sedikit dan cerita yang dibahas sebagian besar adalah lewat sudut pandang anak-anak. Tapi drama ini lebih panjang, dan kami bisa menunjukkan lebih banyak tentang apa yang orang dewasa pikirkan tentang mencontek. Dan karena kita bicara soal moralitas, memiliki orang-orang dewasa dalam drama adalah penting,” terangnya.

Menggarap drama yang membahas sistem pendidikan di Thailand, Pat juga mengingat kembali masa sekolah. Karena dia berasal dari sekolah alternatif, sang sutradara berkata dia mendekati cerita drama ini dari sudut pandang orang luar. Dia tidak pernah merasakan perjuangan yang dialami para siswa Thai yang harus mengikuti les tambahan dan mata pelajaran tambahan supaya memperoleh nilai yang baik.

“Saya tidak bisa menjalani itu. Itu siksaan dan saya pikir saya sangat beruntung saya tidak harus melalui semuanya itu. Sistem pendidikan Thai adalah seperti Anda mengarahkan kamera ke sebuah buku pelajaran. Siapapun akan ketiduran saat menontonnya. Sistem ini tidak berkomunikasi dengan para penontonnya sama sekali,” ujar Pat. 

Sekalipun dia adalah orang luar, dia merasa justru itulah yang terbaik. “Saya pikir saya bisa melihat hal-hal dengan lebih jelas dengan cara ini. Dan saya merasa itulah adalah hal yang baik karena saya tidak membahas hal-hal ini dengan cara yang penuh kebencian. Untuk masyarakat yang sudah berada dalam sistem ini sejak mereka masih muda, jika mereka tidak menyukainya, mereka akan membahasnya dengan nada kebencian. Untuk saya, saya hanya melihat sesuai kenyataan. Seperti itulah kenyataannya dan mungkin pihak ketiga bisa melihat gambaran ini lebih jelas,” tutupnya.


StatCounter - Free Web Tracker and Counter