LayarHijau.com – Industri drama Korea yang selama ini menjadi kebanggaan nasional dan kekuatan utama gelombang Hallyu kini menghadapi krisis serius. Para pelaku industri menyuarakan kekhawatiran mendalam atas dominasi platform global seperti Netflix, yang dinilai justru melemahkan posisi rumah produksi lokal dan mengancam keberlanjutan industri secara keseluruhan.
Dalam forum yang diselenggarakan oleh Korea Creative Content Agency (KOCCA) pekan ini di Jung-gu, Seoul, sejumlah tokoh penting di dunia pertelevisian Korea mengungkapkan kondisi genting yang dihadapi. Salah satunya adalah Hong Seong-chang, kepala Studio S, anak perusahaan dari SBS yang memproduksi berbagai drama populer. Ia menyampaikan kritik tegas terhadap hubungan yang timpang antara studio Korea dan layanan streaming global.
“Netflix dan platform global lain memiliki pengaruh besar sebagai investor. Mereka bisa menentukan genre, alur cerita, hingga arah kreatif. Tapi jika kita terus mengikuti selera global dan mengabaikan penonton Korea sendiri, Hallyu tidak akan bertahan,” ujar Hong, dikutip dari laporan The Korea Herald.
Hong menegaskan bahwa kekuatan Hallyu justru lahir dari konsistensi kreator lokal dalam menyajikan cerita yang menyentuh penonton Korea. Keberhasilan global hanyalah efek samping dari keaslian itu. “Kami yang paling tahu apa yang membuat konten Korea istimewa. Bahkan Netflix pun tahu itu. Tapi jika relasi ini terus sepihak, kami hanya akan jadi subkontraktor, bukan mitra sejajar,” tambahnya, menggambarkan hubungan ideal sebagai simbiosis seperti buaya dan burung plover—saling menguntungkan.
Lebih jauh, Bae Dae-sik, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produksi Drama Korea, menyuarakan peringatan yang lebih keras: “Industri drama Korea berada di ambang kehancuran.” Ia menyebutkan bahwa biaya produksi melonjak, tetapi jumlah drama justru menurun, sebagian besar karena sistem produksi original Netflix yang sering kali mewajibkan rumah produksi menyerahkan hak kekayaan intelektual (IP).
“Ketika kami kehilangan hak IP atas karya seperti Squid Game, keuntungan jangka panjang bukan untuk kami, tapi untuk Netflix. Ini tidak bisa terus dibiarkan,” tegas Bae.
Ia mendesak pemerintah baru Korea Selatan untuk menyusun kebijakan tegas yang melindungi rumah produksi domestik, termasuk membentuk lembaga khusus yang menangani konten siaran dan video, terpisah dari KOCCA. Menurutnya, ini mendesak karena industri drama memiliki anggaran produksi sekitar 3 triliun won per tahun—jauh lebih besar dari industri film yang sudah memiliki lembaga sendiri.
Seruan ini bukan sekadar keluhan dari dalam industri, melainkan peringatan serius bagi pecinta K-drama di seluruh dunia. Jika tidak ada perubahan signifikan dalam struktur kerja sama dengan platform global, bukan tidak mungkin drama Korea akan kehilangan jati dirinya—dan dunia akan kehilangan cerita-cerita yang selama ini begitu dicintai.








