Horizontal Scroll Menu
Home » Selebritis » Paska Skandal Kris Wu dan Zhang Zhehan, Apa Langkah Brand Luxury Selanjutnya?

Paska Skandal Kris Wu dan Zhang Zhehan, Apa Langkah Brand Luxury Selanjutnya?


Check Out Our English Version! Go to English Version

Terakhir diperbarui pada 02/09/2021 oleh Timotius Ari

Dua selebritis populer, penyanyi Kris Wu dan aktor Zhang Zhehan baru-baru ini terkena skandal, mengguncang Asia dan brand luxury yang bekerja sama dengan mereka. Tapi mereka bukanlah para pria Asia yang berpengaruh pertama yang menunjukkan perilaku yang memicu perdebatan.

Pada 2019, tuduhan perkosaan ditujukan pada penyanyi dan penulis lagu Jung Joon-young dan musisi Choi Jong-hoon mengguncang dunia K-pop dan Korea Selatan. Dan baru-baru ini, salah satu bintang besar K-pop, Seungri, dihukum tiga tahun penjara dan didenda $989 ribu setelah pengadilan militer memutuskan dia bersalah atas tuduhan menyediakan layanan prostitusi kepada para pebisnis asing.

Beberapa tahun ini, brand luxury berusaha menghubungkan brand mereka dengan selebriti K-pop dan para idol China. Lisa Manohan atau Lisa Blackpink menjadi ambassador resmi pertama Celine. Sedangkan Rose Blackpink menjadi ambassador Saint Laurent. G-Dragon menjadi brand ambassador Chanel sejak 2017 dan EXO Kai adalah Global Ambassador Gucci.

Lalu ada juga Kris Wu yang namanya sinonim dengan ultra-luxury. Dia diasosiasikan dengan brand luxury seperti Bulgari, Porsche, dan Louis Vuitton. Brand luxury global dengan senang hati memakai jasanya untuk event PR dan kolaborasi produk. Tapi, kemudian muncul tuduhan perkosaan yang mengejutkan dan beberapa brand mulai memutuskan kerjasama dengan Wu. Tapi bukan berarti brand luxury ini bebas dari masalah.

Sekarang, banyak konsumen wanita yang mungkin menghubungkan brand-brand ini dengan budaya toxic masculinity dan perilaku pria predator. Hal ini terutama terjadi di China, sebuah negara dengan pandangan yang konservatif terhadap para wanita, di mana gerakan #MeToo belum dimulai.

Karena para wanita muda biasanya menjadi target konsumen dari produk luxury, brand-brand ini harus berusaha lebih baik untuk memperbaiki hubungan dengan mereka. Sebuah survei yang diadakan pada 2017 oleh the Guangzhou Gender and Sexuality Education Center dan firma hukum Beijing Impact pada wanita usia kuliah menunjukkan jika 75 persen di antara mereka pernah mengalami pelecehan selama hidup mereka. Sebanyak 40 persen terjadi di ruang publik di kampus.

Brand luxury harus mengambil kesempatan ini dan belajar dari fakta tersebut. Daripada mengejar Kris Wu berikutnya atau menghabiskan anggaran marketing pada budaya KOL (key opinion leader), mereka bisa mendukung gerakan sosial terkait tema-tema yang sangat penting bagi para konsumen perempuan. Dengan melakukan hal ini, mereka bisa menciptakan perubahan nyata dan membangun jembatan emosional antara para penggemar dan brand.

Dalam survei 2018 terhadap konsumsi barang mewah online di China terlihat jika 71 persen pembelian dilakukan oleh konsumen wanita. Grup bank swasta Swiss Julius Baer menggambarkan jika konsumen barang mewah yang baru adalah wanita muda yang semakin sadar fashion, leluasa berbelanja dan aktif di media sosial.

Tren yang sama juga diungkap dari laporan Hurun Research, menunjukkan jika China memproduksi pengusaha wanita mandiri dengan jumlah terbanyak di dunia. China memiliki 85 miliarder wanita pada Januari 2021, hampir sepertiga dari total miliarder wanita di dunia, tulis the South China Morning Post.

Para wanita muda sekarang dianggap sebagai kekuatan yang memimpin di balik pembelian barang mewah. Dan saat ini, di era gerakan #MeToo global, beberapa brand masih belum tahu bagaimana caranya merespon terhadap skandal pelecehan seksual yang melanda budaya selebriti. Sekalipun situasi ini merugikan mereka, skandal selebriti yang terjadi saat ini harusnya menjadi sesuatu yang menyadarkan brand luxury. Daripada berinvestasi pada marketing KOL, dan tetap diam terhadap masalah sosial, brand harus mulai mendukung marketing berdasarkan gerakan sosial. Dengan langkah ini, akan tercipta brand awareness, memperkuat kepercayaan dan loyalitas dan menciptakan konsumen yang sadar akan fenomena sosial di sekitar mereka.

Sumber: Jing Daily.